Masyarakat Indonesia terbilang suka tebar pesona. Media sosial menjadi ajang pamer. Selalu meng-update kegiatannya. Mendadak menjadi seperti sosialita. Gemar pencitraan dan sekaligus terpukau oleh pencitraan. Akibatnya secara keseluruhan ada gab antara citra dan realita.
Budaya Feeling yang masih mentah akan berkomunikasi dipoles dengan manipulasi pencitraan. Sehingga mesti didiscount. Jangan semua dipercaya. Yang benar hanya sebagiannya. Sebagiannya yang lain hanya manipulasi pencitraan.
Apakah ini sehat dalam kehidupan sosial? Tentu saja tidak. Akhirnya orang awam akan lebih mengagungkan sosialita dibanding pejuang senyap. Akhirnya masyarakat Indonesia akan menjadi buih di tengah lautan perkembangan yang sesungguhnya. Akhirnya masyarakat Indonesia sukar untuk diajak berjuang karena sudah terpapar virus pencitraan. Kakinya tidak bertapak di bumi dan mengawang-ngawang di dunia khayalan. Celakanya yang gak berhasil mencapainya mencari pelarian pada narkoba dan berbagai kemaksiatan lainnya. Akhirnya masyarakat terperangkap dosa sosial.
Padahal seharusnya masyarakat dibawa kepada keikhlasan. Yang rela untuk tidak terkenal demi menjaga jiwanya. Biarkan tangan kanan berbuat baik tanpa diketahui tangan kiri. Melakukan operasi senyap atas berbagai program sosial. Membela dan memperjuangkan nasib tertindas secara diam-diam. Ini memang sulit karena harus melakukan revolusi moral. Dari 'aku doyan rating' menuju 'ikhlas demi kita'. Sementara panggung kehidupan telah memerangkap dalam demokrasi rating. Populerisme semu.
Ayo bangkit dari tidur panjang. Membangun peradaban baru yang lapang jiwa penuh kontribusi nyata.
Farid Poniman
Penemu STIFIn
Penemu STIFIn
0 Comments:
Posting Komentar